Category Archives: Resonansi

Teplok dan Sentir

lampu teplokTeringat obrolan semalam sehabis acara pengajian Uc-kum (pengajian komunitas mahasiswa Indonesia di University of Canberra), salah seorang kawan bercerita tentang kondisi kampung halamannya di belahan pulau Sumatera yang konon sampai tahun 90an belum juga disaluri listrik oleh PLN. Ketika kemudian saya juga bercerita bahwa kampung saya di daerah Purbalingga sampai tahun 1995 juga belum ada listrik, kawan saya seolah tak percaya, tapi ya begitulah kenyataannya, sampai saya hijrah merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi di STAN, tepatnya semester 2 pada tahun 1995, baru listrik masuk ke kampung halaman kami..

Saya pribadi tak malu mengakui kenyataan ini, justru saya bisa berbagi plus minusnya hidup di dua zaman, zaman teplok dan sentir serta zaman listrik. Saya mengalami zaman teplok dan sentir sampai saya tamat SMA, jadi bisa dibayangkan ketiadaan sinar yang cukup menjadi hal yang biasa, bahkan karena terbiasanya itu saya bisa merasakan terangnya dalam kegelapan, bukankah Allah itu maha adil dan kuasa, Dia menciptakan dua pasang mata manusia dengan sangat sempurnanya, sehingga retina kita dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, coba saja matikan lampu anda di malam gelap gulita, untuk pertama kali anda akan susah melihat sekitarnya, tapi setelah beberapa lama, anda akan dapat menguasai daerah sekitar anda.
Ada beberapa nilai positif yang dapat saya bagi dari kehidupan di zaman teplok dan sentir, pertama, kita benar2 mentadaburi kuasa Allah lewat pergantian siang dan malamnya, selalu memaknai, menghargai dan mensyukuri hadirnya sang bulan purnama. Ketika sang bulan purnama muncul, maka anak2 akan berhamburan keluar rumah untuk main bersama menikmati mandinya sinar bulan purnama, baik main petak umpet, ular2an dan permainan tradisional lainnya. Tak jarang juga orang2 tua ikut keluar rumah untuk sekedar ngobrol2 dengan tetangga sebelah. Sekarang mungkin susah kita temukan anak2 bermain seperti itu bukan?? Kedua, melatih rasa tanggung jawab. Saya teringat dulu tugas mengambil teplok dan sentir, mengisinya dengan minyak tanah, dan menyalakan apinya serta mendistribusikan ke setiap ruangan adalah tugas saya, sementara anggota keluarga yang lainnya dapat tugas lainnya seperti menimba air dari sumur, dsb. Dengan keberadaan listrik mungkin tugas2 seperti itu sudah tereliminasi. Ketiga, eratnya rasa kekeluargaan. Kebetulan di rumah saya memang tidak ada televisi, almarhum ayah saya memang termasuk keras dalam hal ini, beliau tidak ingin anak2nya banyak meluangkan waktu di depan televisi, beliau lebih mendorong anak2nya bercengkerama bersama di ruang keluarga dan selebihnya adalah waktu untuk belajar. Sehingga, praktis ketiadaan listrik dan televisi mengakibatkan kami banyak meluangkan waktu bersama, bersenda gurau, bersama anggota keluarga lainnya. Tapi terkadang saya sempat curi2 waktu juga ke rumah tetangga untuk sekedar menonton acara TV favouritku, Selekta Pop ataupun Aneka Ria Safari he he.

Dengan hadirnya listrik memang telah merubah segalanya di kampung saya, tak ada lagi suara sahut2an anak2 di malam bulan purnama, tak ada lagi derap langkah lari anak2 di pinggir rumah, semuanya telah tergantikan dengan dunia kotak, televisi dan computer. Sekarang orang begitu banyak bergantung dari listrik, setiap aspek dan denyut kehidupan seolah2 berasal dari listrik. Hal yang menakutkan sekarang bagi orang adalah padamnya listrik. Padahal kalau dilalui tidak akan seseram yang dibayangkan kok, selalu ada nilai2 lainnya yang menggantikan nilai yang terbuang. Saya pernah membaca artikel tentang suatu komunitas kaum hedonis yang telah jenuh dengan gaya hidup cosmopolitan yang mencoba kembali ke alam sebenarnya, tanpa listrik, tanpa computer, telepon, dsb. Mungkin suatu saat ini akan menjadi trend. Anda mau mencobanya?? Gak ada listrik, masih ada teplok dan sentir kok…

Gambar, source : flickr.com/photos/96575756@N00/2602371061/

Diproteksi: Kamal..

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Gloomy n’ Cheerful: Two Sides of Coin

Getting together with some friends sometimes becomes the best way to just release distress, such as this evening we came altogether to give condolence on the loss of our best friends’ baby. I know it’s hard situation for them loosing someone whom they are waiting for. Insya Allah your baby occupies in raudlatul jannah as refer to Hadits of Bukhori, the man who lives in that raudhah (park) is Ibrahim a.s. whereas the children stay around him are those baby who birth in fitrah (purity).

Even though you tried to be cheerful but I know from your eyes were not able to hide the gloomy. Believe me the time will erase your sadness. However, I believe you both are able to recover from this hard situation. In order to reduce your gloomy feeling now, you need friends to talk to. Don’t let you are alone cause it will provoke your deep sadness.

I know Losing someone we love can be the most difficult thing to go through in life. Personally I have had experience about that. But maybe I can’t be a good raw model for this case because until now to be honest I am still trying to struggle managing my heart to not feel loosing someone even or something even though it’s just the little thing. Like this evening when someone told me to off or maybe quit from the job (in which we have the same work place), to be honest there was something loose in my heart. It will become the second friend quit from this job. I don’ know the reason why I have to be sad. It always happened to me. Maybe I become too melancholic for this, I am sorry my friend, it’s really your choice n your life…

Rabbit-Proof Fence: A Black History of Australia

03 February 2009

Rabbit Proof Fence is a movie that I had watched at IAP. At least, from this movie, I have learnt much about honesty, fairness, and sincerity. I can see that Australia has learnt from its history and come along to the bright future together. The teacher emphatically admitted that it became a black history of Australia. The movie is about the stolen generation in Australia toward indigenous people, aborigine people.

It is a true story adapted from ‘Follow the Rabbit-Proof Fence” by Doris Polkington Garimara. The story was happened during the 1930s which set in Jigalong where three children Molly, Gracie and Daisy lived. The children are referred to by Neville as “half-castes”, having one white and one black parent. The children are forcibly captured from Jigalong taken to the camp at Moore, around several thousand miles away. The purpose of kidnapping those children is to breed out of the black colour on aborigines by introducing the policy to forcibly be married with white people so that the next generation will birth in white colour. It was an ambition to create Australia as a white nation, a western culture.

The movie showed the struggle of three children to escape from the camp by walking back home following the rabbit proof fence. After several more weeks Molly and Daisy were successful to arrive at heir home, while Daisy was recaptured.

In the last movie, Molly explained that she had her own daughters who were taken from her and how she was able to rescue one, but not the other. Her successful rescue was done in the same way when she run away in her childhood; she walked the length of the fence back home.

As I wrote before, it became a black history of Australia where there was an era of attempting to vanish aborigine identity. fortunately, Australia has learnt from that. Officially, the Prime Minister apologized for unaccepted action in the past. I think every country has a problem with regard to face the diversity, the gap between one to other regions or ethnic group. Australia now is trying to develop some policies to help the welfare of Aborigines without vanishing their culture even though like the teacher said it’s very difficult; but at least sincerily the government is attempting to live together harmonically with the same right in this country. It is absolutely true a slogan that a develop country is a country in which learnt from its history…How about Indonesia??

Would you mind sharing ‘your plate’?

biggestmenu1 Habitually after recitation of the confession of the faith (such as tahlilan and mauludan) in the Majlis, the host serves several big plates contained ‘kebuli’ rice, roasted goat meat, ‘kerupuk’ , ‘acar’ and fruits that is divided into several groups. One group consisted of 3 or 4 people and ate together in one big plate.

For the first time, I felt repugnant looking at people taking rice with their fingers (without spoon and fork) from the same plate and I prefered to just take a fruit rather than eating rice together..

Unrealizingly, my spiritual teacher (ustadz) noticed me and one day asked me why i didn’t join eat together with other people..at that time I said that I had eaten just before going to the majlis..(oh..I ‘m sorry for lie)..but I was not able to keep lie after several times I always didn’t join..

Finally I admitted that I didn’t have a habit eating together in one plate and wisely my teacher replied that it was okay if I didn’t mind eating together and I could take a plate separately..

Furthermore, even the contains of discourse didn’t straight forward to me but I perceived it was for me..He said that sometimes human being felt more valuable or higher than others in many aspects of life, such as income, position, group ethnic, etc. that restricted to feel togetherness. It should be gazed and to be understood from your conscience that we are all the same in Allah valuation except for faithfull degree to Allah ta’ala..The feeling of disgusting showed that we need to extra effort to clean our heart by dzikrullah to make more pure our heart…

In the later week, I tried to control my heart by dzikrullah and joined together with other people eating together in one big plate looking at the rice grains fell down from the fingers interspace..

It is true that we are all the same..How about you??

Source of picture: http://www.biggestmenu.com

Zhang Ning: Sang Anomali Pemain Badminton

Bagi para penggemar olahraga tepok bulu, pasti mengenal nama dan sosok Zhang Ning, pemain badminton asal negeri tirai bambu, China. Sebenarnyalah kalau yang benar2 pecinta sejati badminton, tahu bahwa Zhang Ning sudah lama malang melintang di arena Badminton. Namanya mulai muncul ke publik sekitar tahun 1994, dia menjadi tunggal ketiga perebutan Uber Cup. Namun apa lacur, dari ajang bergengsi itulah justru kesuksesan malah menjauh, seperti mimpi buruk yang terus dibawanya dari satu turnamen ke turnamen lainnya, mimpi buruk setelah dalam partai penentuan dia dikalahkan oleh sang anak ajaib Indonesia kala itu, Mia Audina.

Tahun 90-an, merupakan masa2 suram Zhang Ning, namanya selalu dibawah bayang-bayang rival2nya sesama anggota pelatnas China seperti Ye Zhouying dan Wang Chen. Bahkan setelah era keemasan Ye Zhaouying dan Wang Chen menurun, diapun belum sanggup menerima tongkat estafet sebagai pemain elit China. Posisinya kala itu masih berkutat dan bersaing dengan sesama rekan pelatnasnya seperti Yao Yan, Dai Yun, Zeng Ya Qiong, dan Hang Jing Na.

Mimpi buruk Zhang Ning sepertinya terulang ladi dalam laga final Uber Cup 1996, dalam partai tunggal putri ketiga, lagi-lagi ia gagal mengalahkan tunggal putri Indonesia kala itu, Meiluawati. Pada awal tahun 1997, justru nama Gong Zhichao yang kemudian melejit dan menggantikan posisi Ye Zhaoying. Nama Zhang Ning bahkan tak terpilih dalam squad tim nasional China untuk, Olimpiade Atlanta dan Sydney. Untuk Uber Cup 1998 dan 2000, pada partai final, namanya tidak tercantum dalam list pemain, tunggal putri ketiga sudah tidak dipercayakan lagi kepadanya tetapi kepada Dai Yun.

Setelah Gong Zhichao mengundurkan diri setelah merebut medali emas Olimpiade Sydney, nama Zhang Ning juga masih bersaing lagi dengan pemain-pemain muda seperti Zhou Mi, Gong Ruina, dan Dai Yun. Bahkan pada pemilihan squad Uber Cup tahun 2002, nama Zhou Mi yang terpilih sebagai tunggal kedua, berturut-turut Gong Ruina dan Dai Yun sebagai tunggal kedua dan ketiga. Lagi-lagi namanya tidak tercantum.

Tahun 2002 agaknya menjadi tahun titik balik kesuksesan Zhang Ning. Setelah mulai didera rasa putus asa karena telah 10 tahun bergelut di dunia badminton namun sepi prestasi ditambah tidak diberi kepercayaan, dia bangkit berkat motivasi dari pelatih kepala, Li Yongbo, yang mengatakan kepadanya akan diberi kesempatan 1 atau 2 tahun lagi. Berturut-turut kesuksesan mulai direngkuhnya, termasuk turnamen yang sangat elit seperti juara dunia tahun 2003 dengan mengalahkan Gong Ruina. Tahun 2004, dia mulai dipercaya sebagai tunggal kedua uber cup dan pada tahun yang sama, seperti mengakhiri mimpi buruknya ketika di olimpiade Athena ia berhasil mengalahkan Mia Audina yang mewakili Belanda di partai final. Sebelumnya ia mengalahkan Wang Chen dan Zhou Mi di perempat dan semifinal. Tahun-tahun berikutnya adalah tahun pembuktian diri dia. Dia telah sangat matang baik secara fisik, mental dan pengalaman bertanding. Perjuangan panjang yang dialami telah menempa dia menjadi salah satu pemain putri yang sanggup bertahan di posisi puncak dalam waktu yang lama.

Tahun 2003
Juara Swiss Terbuka
Juara Kejuaraan Dunia
Juara Singapura Terbuka
Juara Hong Kong Terbuka
Juara Jerman Terbuka

Tahun 2004
Juara Korea Terbuka
Juara Malaysia Terbuka
Juara Olimpiade Athena 2004
Juara Singapura Terbuka

Tahun 2005
Juara Jepang Terbuka
Juara Singapura Terbuka
Juara Malaysia Terbuka
Juara Masters Cina
Juara Cina Terbuka
Juara Hong Kong Terbuka

Tahun 2006
Juara Jerman Terbuka
Juara Piala Uber
Juara Malaysia Terbuka
Juara Taipei Terbuka
Juara Jepang Terbuka
Juara Cina Terbuka

Tahun 2007
Juara Singapura Terbuka

Tahun 2008
Juara Olimpiade Beijing 2008

Di tahun 2008, diusianya yang menginjak 33 tahun, dia masih menunjukkan kekuatannya dengan memenangi medali emas Olimpiade Beijing mengalahkan rivalnya Xie Xinfang, yang jauh lebih muda darinya.

Zhang Ning, bisa dikatakan sebagai anomali pemain badminton. Pertama, dari segi usia, dia mementahkan pendapat umum yang mengatakan usia diatas 30an tidak dapat berprestasi, apalagi untuk pemain putri. Kedua, dia pemain yang dapat dikatakan bermain dalam tiga generasi, generasi Susy Susanti-Ye Zhouying, generasi Gong Zhi Chou dan generasi Xie Xinfang. Sesuatu yang sangat sulit dilakukan pemain lainnya. Lihat saja Mia Audina, Camilla Martin, Dai Yun, Gong Ruina dan Zhou Mi yang sudah sangat stagnan prestasinya, bahkan beberapa sudah menggantungkan raketnya. Ketiga, dilingkungan pelatnas China sendiri sudah sangat terkenal kompetisi yang ketat untuk para pemain untuk tetap bertahan dalam tim nasional. China sangat terkenal dengan regenarisnya, mungkin karena stok pemain yang melimpah ruah disana. Beberapa nama yang dulu diatas Zhang Ning sudah lama terdepak, seperti Wang Chen dan Zhou Mi yang sekarang membela Hongkong. Pi Hong Yan, Xu Huawen dan Yao Jie yang memilih hijrah ke daratan eropa karena tersingkir dari kompetisi yang ketat di China.

Agaknya semangat Zhang Ning dapat menjadi inspirasi para pemain lainnya untuk dapat bangkit dari keterpurukan dan mimpi buruk, tidak mudah menyerah dalam setiap pertandingan, konsisten dan menikmati setiap poin dan tetap berprestasi walaupun usia tidak muda lagi. Tahun 2008, Zhang Ning menggantungkan raketnya setelah mendapatkan medali emas olimpiade Beijing. Dia meninggalkan arena dengan kepala tegak dan tidak ada rasa penyesalan, dia telah menorehkan sederet prestasi atas nama pribadi dan negaranya. Selamat jalan Zhang Ning….!

Referensi:
Wikipedia

Kita Tidak Pernah Tahu

Kehidupan dengan berbagai macam ceritanya terkadang membuat kita terhenyak, bersorak ataupun menangis. Banyak hal yang terjadi dalam kehidupan kita yang kita tidak dapat pernah menduganya, kemana alur cerita hidup ini akan bergulir. Demikian pula dalam hidupku, ketika akhirnya harus aku lalui cerita hidup yang menyedihkan setelah sekian lama merasakan beberapa episode cerita yang membahagiakan. Aku tak pernah tahu, episode hidup berikutnya. Yang kutahu adalah aku merencanakan dan berbuat sesuatu yang aku rasa dan pikir bagus untuk hidupku…Kita tidak pernah tahu rencana terbaik Allah ta’ala, someday maybe baru terasa hikmahnya..

Ini ada sebuah resonansi yang sering aku baca dan renungkan yang lumayan populer di jagat raya maya internet. Artikelnya aku dapatkan dari milis resonansi. Pengarang originalnya sampai sekarang aku tidak tahu, tapi inti dan maksud artikelnya mengena banget, terutama dalam kondisi aku sekarang ini. Semoga kita dapat mengambil i’tibar dari Cerita tentang sang penjual tempe

Sang Penjual Tempe
Anonim

Ada sebuah kampung di pedalaman Tanah Jawa.
Disana ada seorang perempuan tua yang sangat taat beribadah. Pekerjaannya membuat tempe dan menjualnya di pasar setiap hari merupakan satu-satunya sumber pendapatannya untuk menyambung hidup. Tempe yang dijualnya merupakan tempe yang dibuatnya sendiri.

Pada suatu pagi, seperti biasa, ketika ia sedang bersiap-siap untuk pergi menjual tempenya, tiba tiba dia sadar bahwa tempe yang dibuatnya dari kacang kedelai hari itu masih belum jadi, hanya separuh jadi saja. Biasanya tempe yang beliau buat telah masak sebelum ia pulang. Diperiksanya beberapa bungkusan yang lain. Ternyatalah memang semuanya belum masak juga.

Perempuan tua itu merasa amat sedih sebab tempe yang masih belum jadi tersebut pastinya tidak akan laku dan tiadalah rezekinya pada hari itu. Dalam suasana hatinya yang sedih, dia yang memang taat beribadah teringat akan firman Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan dapat melakukan perkara-perkara ajaib, bahwa bagi Tuhan tiada yang mustahil. Lalu diapun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa , “Tuhan, aku memohon kepadaMu agar kacang kedelai ini menjadi tempe. Amin”

Begitulah doa ringkas yang dipanjatkan dengan sepenuh hatinya. Dia sangat yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan doanya. Dengan tenang perempuan tua itu menekan-nekan bungkusan bakal tempe dengan ujung jarinya dan dia pun membuka sedikit bungkusan itu untuk menyaksikan keajaiban kacang kedelai itu menjadi tempe. Namun, dia termenung sejenak sebab, kacang itu masih tetap kacang kedelai.

Namun dia tidak putus asa, sebaliknya ia berpikir mungkin doanya kurang jelas didengar oleh Tuhan. Maka dia pun mengangkat kedua tangannya kembali dan berdoa lagi. “Tuhan, aku tahu bahwa tiada yang mustahil bagiMu. Bantulah aku supaya hari ini aku dapat menjual tempe karena inilah mata pencarianku. Aku mohon agar jadikanlah kacang kedelaiku ini menjadi tempe, Amin”.

Dengan penuh harapan dan hati yang berdebar-debar dia pun sekali lagi membuka sedikit bungkusan tu. Apakah yang terjadi? Dia terpaku dan heran karena tempenya masih tetap seperti itu !!

Sementara, matahari pun semakin meninggi dan sudah tentu pasar sudah mulai didatangi ramai orang. Dia tetap tidak kecewa atas doanya yang belum terkabul. Walau bagaimanapun karena keyakinannya yg sangat tinggi, dia berencana untuk tetap pergi ke pasar membawa barang jualannya itu. Perempuan tua itu pun berserah pada Tuhan dan meneruskan perjalanan ke pasar sambil berdoa dengan harapan apabila sampai di pasar semua tempenya akan masak. Dia berpikir mungkin keajaiban Tuhan akan terjadi sewaktu perjalanannya ke pasar.

Sebelum keluar dari rumah, dia sempat mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. “Tuhan, aku percaya, Engkau akan mengabulkan doaku. Sementara aku berjalan menuju kepasar, Engkau berikanlah keajaiban ini buatku, jadikanlah tempe ini. Amin”. Lalu dia pun berangkat. Di sepanjang perjalanan dia tetap tidak lupa membaca doa di dalam hatinya.

Sesampainya di pasar, segera dia meletakkan barang-barangnya. Hatinya betul-betul yakin bahwa tempenya sekarang pasti sudah jadi. Dengan hati yg berdebar-debar dia pun membuka bakulnya dan menekan-nekan dengan jarinya setiap bungkusan tempe yang ada. Perlahan-lahan dia membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya. Apa yang terjadi? Tempenya masih belum jadi juga !!

Dia pun kaget seketika lalu menarik nafas dalam-dalam. Dalam hatinya sudah mulai merasa sedikit kecewa dan putus asa kepada Tuhan karena doanya tidak dikabulkan. Dia merasa Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan padanya, inilah satu-satunya jalan rezekinya, hasil jualan tempe. Dia akhirnya cuma duduk saja tanpa memamerkan barang jualannya sebab dia merasakan bahwa tiada orang yang akan membeli tempe yang baru separuh jadi tersebut. Sementara itu hari pun semakin petang dan pasar sudah mulai sepi, para pembeli pun sudah mulai berkurang.

Dia melihat kawan-kawan sesama penjual tempe, tempe mereka sudah hampir habis. Dia tertunduk lesu seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa hari ini tiada hasil jualan yang dapat dibawanya pulang. Namun jauh di sudut hatinya masih menaruh harapan terakhir kepada Tuhan, pasti Tuhan akan menolongnya. Walaupun dia tahu bahwa pada hari itu dia tidak akan dapat pendapatan langsung, namun dia tetap berdoa untuk yang terakhir kalinya, “Tuhan, berikanlah penyelesaian terbaik terhadap tempeku yang belum menjadi ini.”

Tiba-tiba dia dikejutkan dengan teguran seorang wanita.

“Maaf ya, saya ingin bertanya, apakah ibu menjual tempe yang belum jadi Dari tadi saya sudah pusing keliling pasar ini untuk mencarinya tapi masih belum mendapatkan juga.”

Dia termenung sejenak. Hatinya terkejut sebab sejak berpuluh-puluh tahun menjual tempe, tidak pernah seorang pun pelanggannya mencari tempe yang belum jadi. Sebelum dia menjawab sapaan wanita di depannya itu, cepat-cepat dia berdoa di dalam hatinya “Tuhan, saat ini aku tidak mau kedelai ini menjadi tempe. Biarlah ini menjadi seperti semula, Amin”.

Sebelum dia menjawab pertanyaan wanita itu, dia membuka sedikit daun penutup tempenya. Alangkah senangnya dia, ternyata memang benar tempenya masih belum jadi! Dia pun merasa gembira dalam hatinya dan bersyukur pada Tuhan.

Wanita itu pun memborong habis semua tempenya yang belum jadi itu. Sebelum wanita tu pergi, dia sempat bertanya wanita itu, “Mengapa hendak membeli tempe yang belum jadi?”

Wanita itu menerangkan bahawa anaknya yang kini berada di Inggris ingin makan tempe dari desa. Mengingat tempe itu akan dikirimkan ke Inggris, si ibu tadi inginlah membeli tempe yang belum jadi supaya apabila sampai di Inggris nanti akan menjadi tempe yang sempurna. Kalau dikirimkan tempe yang sudah jadi, nanti di sana tempe itu sudah tidak bagus lagi dan rasanya pun kurang sedap.

Perempuan tua itu pun keheranan dan berpikir, rupa-rupanya doanya itu telah dikabulkan olehNya …

Tangan-Tangan Kasar Itu Membuatku Malu..

Ritual yang wajib diadakan di kampungku setelah sholat ‘iedul fitri dimasjid adalah saling salam-salaman sekampung dari yang tua yang jalannya mesti dipapah sampai yang anak-anak, tentunya dihijab antara laki-laki dan perempuan…ritual itu diiringi dengan tetabuhan beduk bertalu-talu dan takbiran…dari ritual itu saya bisa bertemu dengan orang kampung yang sudah lama tidak pernah bersua…termasuk kaki jawad yang sekarang sudah bongkok dan berkeriput yang dulunya amat kekar memanggul dan menggendong saya dan kakak-kakakku. Ada cerita mengharukan dari ibu bahwa kaki jawad ini sangat berjasa sekali, dulu sekitar akhir tahun 1970an transportasi di tempat kami sangat susah, parahnya puskesmas adanya hanya di kota kecamatan yang jaraknya 10an km, untuk mencapainya harus naik turun bukit, menyeberangi beberapa sungai dan lewat sabuk (alas kecil), kebetulan kakak saya sering sakit, ya kaki jawadlah yang membantu menggendong kakak saya tersebut ke kota, bayangkan saja..makanya ibu selalu menekankan untuk jangan melupakan kaki jawad, kita yang muda-muda kalau lebaran disuruh silaturahmi ke rumahnya..

Kembali lagi ke acara ritual tersebut, begitu khotib sholat ‘iedul fitri selesai, orang-orang berebutan ke depan sekedar untuk dapat bersalaman terlebih dahulu, dan itu terjadi tiap tahun…kalau saya lebih memilih di belakang saja yang agak longgaran. Dan ritual salam-salaman dimulai, dari sesepuh desa satu persatu jalan menyalami deretan orang yang berbaris rapi sampai depan pintu masjid..biasanya saya tak melewatkan moment itu, saya pandangi wajah-wajah itu terutama yang tua-tua, dan hampir wajahnya sudah susah saya kenali sudah termakan usia, terbakar teriknya mentari di sawah, tergerus kesulitan hidup..

Dan jabatan satu persatu berlalu…yang saya rasakan adalah kasarnya tangan-tangan itu bapak-bapak desa, ya kebanyakan berkapal, menandakan mereka adalah pekerja keras…yang telah menghabiskan hari2nya di sawah dan kebun…sejenak saya tercenung..saya pandangi mereka..oh ya Allah mereka begitu tangguh melawan kerasnya kehidupan, wajah yang keras tapi polos dan ikhlas, pastinya mereka telah berjuang keras untuk menghidupi anak dan istrinya…sekitar dua tahun yang lalu aku pernah bertanya kepada ibu, berapa seh upah tukang di kampung?? ibu menjawab, ya biasanya sekitar Rp 10.000,- satu orang, itu yang paling cepat dan bagus hasilnya..saya hanya menghela nafas panjang, sempat saya memprotes kok kecil amat…tapi itu sudah harga pasaran kalau dinaikkan nantinya mengganggu mekanisme pasar..begitulan kira-kira jawaban secara teori ekonominya… Sebenarnyalah saya malu ketika bersalaman dengan mereka, bukan karena tangan saya terlalu halus, bukan… tapi saya merasakan kurangnya rasa syukur atas rezeki yang Allah berikan, dan perwujudan rasa syukur saya juga kurang..saya masih bisa bekerja di kantor ber AC, duduk di depan komputer, tapi terkadang masih menuntut yang lebih…satu pertanyaan yang terkubur dalam hati, bisa nggak ya saya merubah nasib-nasib petani di kampung itu?? 

Dan satu per satu tangan mereka terlepas dari jabatan, entah apakah saya masih dapat melihat wajah keras dan jabatan tangan kasar itu tahun depan atau tidak?? 

Semoga masih..

Papahnya Lazuward