Teringat obrolan semalam sehabis acara pengajian Uc-kum (pengajian komunitas mahasiswa Indonesia di University of Canberra), salah seorang kawan bercerita tentang kondisi kampung halamannya di belahan pulau Sumatera yang konon sampai tahun 90an belum juga disaluri listrik oleh PLN. Ketika kemudian saya juga bercerita bahwa kampung saya di daerah Purbalingga sampai tahun 1995 juga belum ada listrik, kawan saya seolah tak percaya, tapi ya begitulah kenyataannya, sampai saya hijrah merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi di STAN, tepatnya semester 2 pada tahun 1995, baru listrik masuk ke kampung halaman kami..
Saya pribadi tak malu mengakui kenyataan ini, justru saya bisa berbagi plus minusnya hidup di dua zaman, zaman teplok dan sentir serta zaman listrik. Saya mengalami zaman teplok dan sentir sampai saya tamat SMA, jadi bisa dibayangkan ketiadaan sinar yang cukup menjadi hal yang biasa, bahkan karena terbiasanya itu saya bisa merasakan terangnya dalam kegelapan, bukankah Allah itu maha adil dan kuasa, Dia menciptakan dua pasang mata manusia dengan sangat sempurnanya, sehingga retina kita dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, coba saja matikan lampu anda di malam gelap gulita, untuk pertama kali anda akan susah melihat sekitarnya, tapi setelah beberapa lama, anda akan dapat menguasai daerah sekitar anda.
Ada beberapa nilai positif yang dapat saya bagi dari kehidupan di zaman teplok dan sentir, pertama, kita benar2 mentadaburi kuasa Allah lewat pergantian siang dan malamnya, selalu memaknai, menghargai dan mensyukuri hadirnya sang bulan purnama. Ketika sang bulan purnama muncul, maka anak2 akan berhamburan keluar rumah untuk main bersama menikmati mandinya sinar bulan purnama, baik main petak umpet, ular2an dan permainan tradisional lainnya. Tak jarang juga orang2 tua ikut keluar rumah untuk sekedar ngobrol2 dengan tetangga sebelah. Sekarang mungkin susah kita temukan anak2 bermain seperti itu bukan?? Kedua, melatih rasa tanggung jawab. Saya teringat dulu tugas mengambil teplok dan sentir, mengisinya dengan minyak tanah, dan menyalakan apinya serta mendistribusikan ke setiap ruangan adalah tugas saya, sementara anggota keluarga yang lainnya dapat tugas lainnya seperti menimba air dari sumur, dsb. Dengan keberadaan listrik mungkin tugas2 seperti itu sudah tereliminasi. Ketiga, eratnya rasa kekeluargaan. Kebetulan di rumah saya memang tidak ada televisi, almarhum ayah saya memang termasuk keras dalam hal ini, beliau tidak ingin anak2nya banyak meluangkan waktu di depan televisi, beliau lebih mendorong anak2nya bercengkerama bersama di ruang keluarga dan selebihnya adalah waktu untuk belajar. Sehingga, praktis ketiadaan listrik dan televisi mengakibatkan kami banyak meluangkan waktu bersama, bersenda gurau, bersama anggota keluarga lainnya. Tapi terkadang saya sempat curi2 waktu juga ke rumah tetangga untuk sekedar menonton acara TV favouritku, Selekta Pop ataupun Aneka Ria Safari he he.
Dengan hadirnya listrik memang telah merubah segalanya di kampung saya, tak ada lagi suara sahut2an anak2 di malam bulan purnama, tak ada lagi derap langkah lari anak2 di pinggir rumah, semuanya telah tergantikan dengan dunia kotak, televisi dan computer. Sekarang orang begitu banyak bergantung dari listrik, setiap aspek dan denyut kehidupan seolah2 berasal dari listrik. Hal yang menakutkan sekarang bagi orang adalah padamnya listrik. Padahal kalau dilalui tidak akan seseram yang dibayangkan kok, selalu ada nilai2 lainnya yang menggantikan nilai yang terbuang. Saya pernah membaca artikel tentang suatu komunitas kaum hedonis yang telah jenuh dengan gaya hidup cosmopolitan yang mencoba kembali ke alam sebenarnya, tanpa listrik, tanpa computer, telepon, dsb. Mungkin suatu saat ini akan menjadi trend. Anda mau mencobanya?? Gak ada listrik, masih ada teplok dan sentir kok…
Gambar, source : flickr.com/photos/96575756@N00/2602371061/